PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DI ERA PANDEMI Perspektif Hukum: Tak Mudah Perusahaan Lakukan PHK!
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DI ERA PANDEMI
Perspektif Hukum: Tak Mudah Perusahaan Lakukan PHK!
PANDEMI Covid-19 yang mendorong penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah se Indonesia berdampak kemerosotan ekonomi di semua lini warga. Banyak perusahaan tidak sanggup meneruskan produktivitas usaha hingga harus lakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Data Kemnaker RI tercatat hingga 2.8 juta korban PHK di era pandemik Covid-19. Bahkan Menkeu Sri Mulyani menyatakan ada 5 juta lebih pekerja ter PHK. Kadin lebih besar lagi yakni 15 juta orang yang Ter PHK di Indonesia.
Sejumlah perusahaan membuat berbagai kebijakan untuk mempertahankan bisnisnya. Mulai dari tak melakukan produksi, menutup sementara usahanya, bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) beberapa karyawannya karena kesulitan cash flow. Jika setiap perusahaan memiliki kemampuan bertahan menghadapi situasi saat ini masing-masing. Namun demikian, bertahannya perusahaan juga ada batasnya. Mengingat lantaran daya konsumsi masyarakat yang menurun saat ini. Yang menjadi faktor utama masalah timbulnya banyak PHK ini bisa dari konsumsi masyarakat terhadap barang-barang produksi para perusahaan itu yang menurun saat ini. Yang kemudian mempengaruhi pendapatan perusahaan. Upaya pemerintah dalam menghadapi dampak pandemi pada PHK ini lewat program kartu pra kerja dari pemerintah bisa tepat sasaran. Selain itu bantuan paket sembako dari pemerintah bisa tetap menjaga daya beli atau konsumtif masyarakat. Pertumbuhan ekonomi anjlok, potensi PHK meningkat. Dapat saja PHK berpotensi menaikan tingkat kriminalitas meningkat karena desakan ekonomi. Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia telah meminta pemerintah dapat mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) secara serius di tengah pandemi Covid-19. PHK massal juga bukan keputusan yang manusiawi untuk saat ini. Pengusaha tak cengeng seolah-olah semua keuntungan perusahaan yang selama ini sudah mereka dapat ikut raib akibat Covid-19. Selama ini pengusaha telah mendapat banyak stimulus pada era pemerintahan Presiden Jokowi. Disamping PHK massal, beberapa perusahaan memberikan penawaran kepada karyawannya untuk mengambil cuti tak berbayar (unpaid leave) atau dirumahkan. Ini dilakukan agar perusahaan tetap bertahan.
Demikian pengantar penyuluhan hukum seputar PHK, disampaikan konsultan, Wagiman, S.H., M.H. pada hari Jum’at, 14 Agustus 2020.
Catatan Pengatar Dialog: menilik kebijakan PHK yang dilakukan perusahaan, harus dilihat dari berbagai sisi. Misalnya kondisi force majeur yang dialami perusahaaan. Beberapa produk hukum yang bisa menjadi acuan. Misalnya: Pasal 164 Ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan perusahaan dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun atau keadaan memaksa. Tidak hanya itu, ada juga Kitab Undang Undang Hukum Perdata pada Pasal 1244 dan Pasal 1245. Kemudian ada beberapa putusan Pengadilan (Yurisprudensi), seperti: (1) Putusan MA No 435/K/PDT.Sus-PHI/2015; Putusan PHI PN Palu No.12/Pdt.Sus PHI/2014/PN Pal; Putusan PHI PN Medan No.242/Pdt.Sus PHI/2018/PD Mdn. “Tidak mudah bagi perusahaan untuk melakukan langkah ini (PHK). Ini langkah paling pahit yang diambil. Lay off adalah langkah terakhir karena berkaitan dengan citra bisnis dan ini juga bukan pilihan yang mudah.***
Tag:hukum, Hukum UTA45, karyawan, PHK